Jumat, 29 April 2011

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK BIDANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI KABUPATEN BANYUMAS


UJIAN TAKE HOME EKONOMI PUBLIK

“ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
BIDANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
DI KABUPATEN BANYUMAS”



logo-unsoed 1



Disusun oleh :

Beby Hanzian                        P2CA10012






MAGISTER ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011
Abstaksi

Setiap tenaga kerja mempunyai resiko sakit maupun kecelakaan pada waktu berangkat, bekerja, dan pulang bekerja. Kebijakan publik bidang keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan untuk memberdayakan pekerja dan melindungi pekerja,yang menjadi pernyataan masalah di Kabupaten Banyumas adalah belum adanya kebijakan pemerintah daerah dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkompilasi dan menyusun pemetaan tupoksi dinas terkait dengan kebijakan K3 di Pemda Banyumas, menganalisis kebutuhan perda di bidang K3,menyusun draf kebijakan K3, mengkompilasi hasil tanggapan untuk memperbaiki draf usulan kebijakan K3 serta menyampaikan usulan kebijakan K3 melalui diseminasi di jajaran pemerintah Kabupaten Banyumas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Adapun metode pengumpulan datanya menggunakan observasi participant, wawancara,dan studi dokumentasi. Responden dalam penelitian ini adalah kabid sosbud, kabid ketenagakerjaan, kasi ketenagakerjaan, kabid P2PL serta kabid pengawasan, kabag kesra. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menyatakan pelaksanaan K3 di Kabupaten Banyumas belum optimal untuk itu perlu dukungan berupa Peraturan daerah atau Surat Keputusan Bupati tentang kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja.
Namun sampai saat ini pelaksanaan tugasnya baru berdasarkan tupoksi yang ada dalam dinas terkait dengan bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan dapat disimpuilkan bahwa penerapan keselamatan dan kesehatan kerja sangat dibutuhkan berupa kerjasama dari berbagai pihak melalui kegiatan sosialisasi, pembinaan dan penyuluhan. Adapun kebutuhan yang sangat mendesak adalah tenaga fungsional yang menangani K3, anggaran yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai dan tentu sangat perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah daerah untuk mengatur secara teknis yang disesuaikan dengan kondisi daerah berupa Peraturan Daerah ( Perda ) tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Hal Lain yang dapat direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini bahwa Pemerintah sebagai regulator dan sebagai agen pelayan publik, maka pelaksanaan Keselamatan dan kesehatan kerja di Kabupaten Banyumas agar berjalan dengan baik yang sesuai dengan kondisi serta menguntungkan semua pihak perlu dibuat suatu regulasi atau suatu kebijakan yang mengikat berupa Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati yang mengikat terhadap pelaksanaan Kesaelamatan dan Kesehatan Kerja.


I.                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah modal manusia (human capital) telah menjadi sangat familiar digunakan oleh para ekonom. Banyak ekonom berpendapat bahwa istilah human capital berkonotasi memperlakukan orang sebagai budak atau mesin. Padahal sumberdaya manusia atau tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang diperlukan selain  faktor produksi lainnya yang harus dikelola dan diperlihara secara baik (Iskandar : 2000).
Sudah saatnya bidang ketenagakerjaan menjadi kebijakan publik dalam pembangunan daerahnya, ketika pemerintah dihadapkan dengan kenyataan mengenai penataan sektor tenaga kerja dan diikuti tuntutan masyarakat terhadap ketenagakerjaan maka kemudian pemerintah perlu menyusun kebijakan publik sektor ketenagakerjaan. Sejalan dengan perkembangan ini, setidaknya ada tiga dasar signifikansi studi kebijakan publik. Yang pertama adalah kenyataan adanya tuntutan dari masyarakat yang beragam dan dengan adanya hal tersebut diperlukan suatu kajian berupa research and development sebelum kebijakan publik akan diterapkan.Yang kedua adalah kemampuan bagi para pengambil keputusan terhadap penerapan kebijakan publik secara mendalam, adanya analisis terhadap kebijakan publik dan adanya penasehat yang memahami mengenai kebijakan publik saat ini. Yang ketiga adalah dengan adanya perkembangan global saat ini maka diperlukan kebijakan publik yang strategis dalam rangka menghadapi berbagai persoalan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
B.     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk menganalisis kebijakan publik di bidang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) dan sebagai dasar usulan rancangan kebijakan publik bidang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) di Kabupaten Banyumas.

II.                TINJAUAN PUSTAKA

A.       Definisi Kebijakan Publik
Terminologi kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya. Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat 2). Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah. Pengertian kebijakan publik lainnya juga diungkapkan oleh Anderson yang menyatakan kebijakan publik sebagai a purposive course of action followed by an actor on set an actors in dealing with a problem or matter of concern atau sebagai tindakan yang memiliki tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah.
Michael E. Porter menjelaskan bahwa keunggulan kompetitif dari setiap negara ditentukan oleh seberapa mampu negara tersebut mampu menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya saing dari setiap aktor di dalamnya. Dalam konteks persaingan global, maka tugas sektor publik adalah membangun lingkungan yang memungkinkan setiap pelakupembangunan mampu mengembangkan diri menjadi pelaku-pelaku yang kompetitif. Lingkungan ini hanya dapat diciptakan secara efektif oleh adanya kebijakan publik. Karena itu, kebijakan publik terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan.
B.       Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahanya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik barang maupun jasa (Masagung : 1996).
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum (Tjipto dan Diana).
Keberadaan sistem keselamatan dan kesehatan kerja dalam konteks pelaksanaannya terus mengalami penyempurnaan, terutama berkaitan dengan indikator keberhasilan kinerja. Notoatmodjo berpendapat bahwa kinerja adalah status kemampuan yang diukur berdasarkan pelaksanaan tugas sesuai dengan uraian tugasnya. Bahkan kinerja erat kaitannya dengan cara mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau performance standard. Faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang dapat ditelaah dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor ini setidak-tidaknya dapat diidentifikasi ke dalam empat hal, yakni motivasi kerja, faktor pembinaan yang diterima pekerja dari organisasi yang mengerjakannya, faktor dukungan dan kerjasama dari mitra kerja, atasan, atau pihak lain yang terkait serta faktor akses terhadap sumber informasi.

III.             HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama ini Kabupaten Banyumas belum mempunyai Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang ketenagakerjaan sehingga pembangunan ketenagakerjaan belum optimal. Pembangunan ketenagakerjaan di Kabupaten Banyumas menyangkut tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perlu mendapat dukungan berupa Peraturan Daerah (Perda) yang dapat mengatur tentang keselamatan dan kesehatan kerja baik di perusahaan-perusahaan maupun instansi pemerintah. Sebelum pembuatan Peraturan daerah mengenai keselamatan dan kesehatan kerja tersebut membutuhkan suatu rancangan dalam bentuk draf usulan kebijakan publik bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
Kecelakaan kerja dapat menimpa tenaga kerja dimanapun mereka bekerja, dalam hal ini tenaga kerja membutuhkan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja saat melakukan pekerjaan. Perlindungan bagi tenaga kerja dirumuskan dalam suatu kebijakan publik yang menyangkut tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja mencakup peningkatan kerjasama, pemberdayaan dari pihak-pihak yang terkait yang dapat meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja. Penentuan strategi dan tujuan dari kebijakan publik bidang keselamatan dan kesehatan kerja yang tepat dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh semua pihak untuk meningkatkan produktifitas kerjanya.
Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Banyumas harus membuat suatu perancangan dan draf usulan yang dapat menghasilkan Peraturan Daerah mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yang dapat digunakan oleh semua pihak dalam peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja di Kabupaten Banyumas.

IV.             KESIMPULAN dan SARAN

A.       Kesimpulan
Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja saat ini baru dilaksanakan sebatas pelaksanaan program Jamsostek. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan dapat disimpuilkan bahwa penerapan keselamatan dan kesehatan kerja sangat dibutuhkan berupa kerjasama dari berbagai pihak melalui kegiatan sosialisasi, pembinaan dan penyuluhan. Adapun kebutuhan yang sangat mendesak adalah tenaga fungsional yang menangani K3, anggaran yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai dan tentu sangat perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah daerah untuk mengatur secara teknis yang disesuaikan dengan kondisi daerah berupa Peraturan Daerah ( Perda ) tentang keselamatan dan kesehatan kerja.
B.       Saran
Dengan mengacu pada kesimpulan penelitian diatas, maka sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di Kabupaten Banyumas, penulis menyarankan agar Pemerintah Daerah segera menyediakan tenaga sumber daya manusia profesional yang menangani secara fungsinya dalam pengawasan pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Kabupaten Banyumas.
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah :
a.         Peningkatan koordinasi berdasarkan kemitraan yang saling mendukung.
b.        Pemberdayaan pengusaha, tenaga kerja dan pemerintah agarmampu menerapkan dan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
c.         Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.
d.        Penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan.
e.         Pemahaman dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja yang berkelanjutan.
f.         Meningkatkan komitmen pengusaha dan tenaga kerja di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
g.        Meningkatkan peran dan fungsi semua sektor dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, J, Manajemen Publik, Pustaka Program Pascasarjana Bandung, 2000
Thoha, M, Kepemimpinan dalam Manajemen.Rajawali , Jakarta, 1999.
Sudarsono, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bintang Kejora, Bandung ,2000.
----------, Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan,
Masagung Haji. CV, Jakarta,1996
Tjiptono & Diana, Karakteristik Kepemimpinan Sarjana, 1999.
www. Google.com
.

Minggu, 24 April 2011

DAMPAK DARI PENGELUARAN PEMERINTAH PADA PERTUMBUHAN EKONOMI

TUGAS EKONOMI PUBLIK

“DAMPAK DARI PENGELUARAN PEMERINTAH PADA PERTUMBUHAN EKONOMI”





Disusun oleh :

Beby Hanzian               P2CA10012





MAGISTER ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011




“DAMPAK DARI PENGELUARAN PEMERINTAH PADA PERTUMBUHAN EKONOMI”

Pendapat tentang campur tangan pemerintah dalam perkonomian  terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang “mendukung” beranggapan bahwa pengeluaran pemerintah sangat berguna untuk menyediakan barang-barang publik yang tidak disediakan oleh swasta karena kurang menguntungkan. Misalnya dalam hal pembangunan jalan raya, jembatan, dan  taman kota. Sedangkan kubu yang “menentang” beranggapan bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian menyebabkan kurangnya efisiensi dalam hal produktivitas barang-barang ekonomi. Misalnya banyaknya BUMN maupun perusahaan daerah yang tidak efisien dalam memproduksi barang dan atau jasa.
Sisi mana yang benar?

Teori: Ekonomi Pengeluaran pemerintah
Teori ekonomi tidak secara otomatis menghasilkan kesimpulan yang kuat tentang dampak pengeluaran pemerintah pada kinerja ekonomi. Dalam keadan tingkat ekonomi rendah pengeluaran pemerintah memang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam tingkat ekonomi yang lebih tinggi, pengeluaran pemerintah berpengaruh tidak seperti yang diinginkan.

Biaya vs Manfaat.
Ekonom umumnya akan setuju bahwa pengeluaran pemerintah menjadi beban di APBN, karena pengeluaran pemerintah terlalu besar atau karena pengeluaran pemerintah yang misallocated. Dalam kasus ini biaya pemerintah melebihi manfaatnya.
• Biaya ekstraksi.
Biaya untuk belanja pemerintah. Pemerintah federal tidak bisa menghabiskan uang tanpa terlebih dahulu mengambil uang itu dari seseorang. Semua opsi yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah memiliki konsekuensi yang merugikan. Pajak mencegah perilaku produktif, khususnya dalam sistem pajak AS saat ini, yang mengenakan tarif pajak yang tinggi pada pekerjaan, tabungan, investasi, dan bentuk lain dari perilaku produktif.. Pinjaman modal mengkonsumsi yang seharusnya dapat tersedia untuk investasi swasta dan, dalam kasus yang ekstrim, dapat mengakibatkan suku bunga yang lebih tinggi. Inflasi memerosotkannya mata uang suatu negara, menyebabkan distorsi ekonomi luas.
 • Biaya perpindahan.
Belanja pemerintah menggantikan aktivitas sektor swasta. Setiap dolar yang di habiskan oleh pemerintah berarti mengurangi jumlah dolar di sektor produktif ekonomi.
• Biaya multiplier negatif.
Pengeluaran pemerintah merupakan intervensi keuangan pemerintah ynag berbahay. Bagian dari anggaran federal yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang menghasilkan efek yang jelas negatif terhadap kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, banyak lembaga regulator anggaran relatif kecil, tetapi mereka membebankan biaya besar di sektor produktif perekonomian. Pengeluaran untuk organisasi internasional lain adalah contoh yang baik. Biaya langsung ke pembayar pajak dari keanggotaan dalam organisasi seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) seringkali sepele dibandingkan dengan kerusakan ekonomi akibat kebijakan-kebijakan anti-pertumbuhan dianjurkan oleh birokrasi multinasional .
• Perilaku biaya subsidi
Banyak program pemerintah mensubsidi keputusan ekonomi yang tidak diinginkan. program kesejahteraan mendorong orang untuk memilih bekerja selama liburan. Program asuransi pengangguran, memberikan insentif untuk tetap menganggur. Program asuransi banjir, mendorong pembangunan di dataran banjir. Ini semua adalah contoh program pemerintah yang mengurangi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi output nasional karena mereka mempromosikan atau underutilization misalokasi sumber daya.
• Perilaku biaya penalti
Program pemerintah sering menghambat keputusan ekonomi yang diinginkan. Tabungan adalah penting untuk membantu menyediakan modal untuk investasi baru, namun insentif untuk menyimpan telah dirusak oleh program pemerintah yang mensubsidi pensiun, perumahan, dan pendidikan. Mengapa seseorang menyisihkan penghasilan jika program pemerintah membiayai biaya yang besar?


• Biaya distorsi pasar.
Pembeli dan penjual di pasar yang kompetitif menentukan harga dalam suatu proses yang menjamin alokasi sumber daya yang paling efisien, tetapi beberapa program pemerintah mengganggu pasar yang kompetitif.
• Biaya inefisiensi.
Adalah cara yang kurang efektif untuk memberikan layanan. Pemerintah langsung menyediakan berbagai layanan dan kegiatan seperti pendidikan, bandara, dan operasi pos. Namun, ada bukti bahwa sektor swasta dapat menyediakan layanan ini pada kualitas yang lebih tinggi dan biaya yang lebih rendah. Dalam beberapa kasus, hal  tersebut akan mendorong untuk dilakukakannya privatisasi.
• Biaya stagnasi.
Belanja pemerintah menghambat inovasi. Karena persaingan dan keinginan untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan, individu dan entitas di sektor swasta terus mencari opsi-opsi baru dan peluang.

Apakah terjadi Defisit? 
Kontroversi Keynesian.
Ilmu ekonomi pengeluaran pemerintah tidak terbatas pada analisis biaya-manfaat. Ada juga perdebatan Keynesian. Pada 1930, John Maynard Keynes berpendapat bahwa belanja pemerintah-terutama peningkatan belanja pemerintah mendorong pertumbuhan-dengan menyuntikkan daya beli ke dalam ekonomi. Menurut Keynes, pemerintah dapat membalikkan kemerosotan ekonomi dengan meminjam uang dari sektor swasta dan kemudian uang kembali ke sektor swasta melalui berbagai program belanja.
Sebaliknya, teori Keynes menyatakan bahwa belanja pemerintah-terutama defisit pengeluaran-bisa memberi rangsangan jangka pendek untuk membantu mengakhiri resesi atau depresi. Para Keynesian bahkan berpendapat bahwa pembuat kebijakan harus siap untuk mengurangi pengeluaran pemerintah setelah perekonomian pulih untuk mencegah Inflasi, mereka percaya akan akibat  dari pertumbuhan ekonomi yang terlalu besar. Mereka bahkan mendalilkan bahwa ada trade-off antara Inflasi dan pengangguran (Kurva Phillips) dan bahwa pejabat pemerintah harus menambah atau mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mengarahkan ekonomi (merangsang atau mengurangi pertumbuhan ekonomi).

The "Defisit Hawk" Argumen.
Tidak seperti Keynesian, yang berpendapat bahwa defisit anggaran, mendorong pertumbuhan dengan menyuntikkan daya beli ke dalam ekonomi. Beberapa ekonom berpendapat bahwa defisit anggaran adalah buruk, karena mereka diduga menghasilkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Karena suku bunga yang lebih tinggi dipercaya untuk mengurangi investasi, dan karena investasi yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, para pendukung pandangan ini (kadang-kadang disebut "elang defisit") menegaskan bahwa menghindari defisit harus menjadi tujuan utama dari kebijakan fiskal.
Pendekatan Elang defisit berpendapat bahwa  kebijakan fiskal selalu memainkan peran dalam kebijakan ekonomi, tetapi politik kadang-kadang memainkan peran dalam penggunaannya. Selama lebih dari era pasca Perang Dunia II, Republik mengeluh tentang defisit karena mereka tidak setuju dengan kebijakan pengeluaran dari Demokrat yang menguasai banyak tuas kekuasaan. Sepertinya banyak orang yang benar-benar peduli tentang dampak dari defisit, tetapi politisi sering menggunakan isu sebagai proxy ketika melawan atas kebijakan pajak dan pengeluaran di Washington.

Bukti: Pengeluaran Pemerintah dsn Kinerja Ekonomi
Teori ekonomi adalah penting dalam menyediakan suatu kerangka untuk memahami bagaimana dunia bekerja, tapi bukti nyata akan membantu untuk menentukan teori ekonomi yang paling akurat. Bagian review ini adalah perbandingan global dan penelitian akademis untuk memastikan apakah pengeluaran pemerintah membantu atau menghalangi kinerja ekonomi.

Pengalaman di seluruh dunia.
Perbandingan antara membantu untuk menggambarkan dampak dari kebijakan publik. Salah satu indikator terbaik adalah kinerja komparatif dari Amerika Serikat dan Eropa. "Eropa Lama" negara-negara yang termasuk ke Uni Eropa cenderung memiliki pemerintahan jauh lebih besar dari Amerika Serikat. Walaupun ada beberapa pengecualian, seperti Irlandia, pemerintah Eropa banyak negara kesejahteraan yang sangat besar.
Pengeluaran pemerintah mengkonsumsi hampir setengah dari ekonomi Eropa output-penuh sepertiga lebih tinggi daripada beban pemerintah di AS Tidak mengherankan, sektor pemerintah yang besar dikaitkan dengan beban pajak yang lebih tinggi dan utang pemerintah lebih besar. Di antara perbandingan lebih mengejutkan:
• output ekonomi per kapita di AS pada tahun 2003 adalah $ 37.600-lebih dari 40 persen lebih tinggi dari rata-rata $ 26.600 untuk UE-15 nations.3
• Pertumbuhan ekonomi riil di AS selama terakhir 10 tahun (3,2 persen rata-rata tahunan pertumbuhan) 50 persen lebih cepat dari Uni Eropa-15 pertumbuhan selama sama periode (2,1 persen) .4
• Tingkat pengangguran AS secara signifikan lebih rendah dari tingkat pengangguran EU-15.
• Tinggal di Uni Eropa setara dengan standar hidup di negara bagian Amerika yang termiskin termiskin.
Banyak variabel kebijakan lain (yang salah) mempengaruhi kinerja ekonomi. Misalnya, pasar tenaga kerja yang lebih diatur mungkin memberikan kontribusi pada tingkat pengangguran yang tinggi di Eropa. tingkat pertumbuhan anemia mungkin merupakan konsekuensi dari tarif pajak tinggi daripada pengeluaran pemerintah. Namun, bahkan dengan peringatan ini, ada hubungan antara pengeluaran pemerintah yang lebih besar dan kinerja ekonomi berkurang.

Penelitian Akademik
Bahkan di Amerika, ada alasan kuat untuk percaya bahwa pengeluaran pemerintah terlalu besar. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa Amerika ada di bagian miring ke bawah dari Curve Rahn - sebagai yang paling negara-negara industri lainnya. Dengan kata lain, para pembuat kebijakan dapat meningkatkan kinerja ekonomi dengan mengurangi ukuran dan ruang lingkup pemerintah. Suplemen untuk makalah ini mencakup kajian komprehensif terhadap sastra akademis dan diskusi dari beberapa isu metodologi dan tantangan. Bagian ini memberikan kutipan dari tinjauan literatur dan merangkum temuan-temuan dari beberapa studi ekonomi utama.
Literatur akademis tentu saja tidak memberikan semua jawaban. Mengisolasi efek yang tepat dari satu jenis kebijakan pemerintah seperti pengeluaran pemerintah-pada kinerja ekonomi agregat mungkin mustahil. Selain itu, hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi mungkin tergantung pada faktor-faktor yang dapat berubah dari waktu ke waktu.
Iisu metodologi penting lain, termasuk apakah model tersebut mengasumsikan perekonomian tertutup atau memungkinkan arus modal dan tenaga kerja. Apakah mengukur keseluruhan beban pemerintah atau jumlah dari komponen?  Ini semua adalah pertanyaan kritis, dan jawabannya membantu mendorong hasil berbagai penelitian.
Upaya ini lebih rumit dengan tantangan mengidentifikasi dampak yang tepat dari pengeluaran pemerintah :
• Apakah pengeluaran menghambat kinerja ekonomi karena pajak digunakan untuk membiayai pemerintah?
• Apakah kerusakan ekonomi akan berkurang jika pemerintah memiliki beberapa sumber pendapatan magis gratis?
• Bagaimana mengukur peneliti akademis merugikan ekonomi dampak konsumsi pemerintah infrastruktur versus pengeluaran pemerintah belanja?
• Apakah ada perbedaan antara militer dan domestik pengeluaran atau antara pembelian dan transfer?
Tidak ada jawaban "benar" atas pertanyaan-pertanyaan, tetapi konsensus tumbuh di akademis sastra persuasif. Terlepas dari metodologi atau model, belanja pemerintah tampaknya dikaitkan dengan kinerja ekonomi yang lebih lemah. Sebagai contoh:
• Sebuah laporan Komisi Eropa mengakui: "[B] konsolidasi udgetary memiliki positif
berdampak pada output dalam jangka menengah jika terjadi dalam bentuk pengeluaran penghematan bukan pajak meningkat "7.
• IMF setuju: "Ini disebabkan distorsi pajak dalam hasil perilaku ekonomi di efisiensi bersih kerugian ekonomi secara keseluruhan, biasanya disebut sebagai 'kelebihan beban perpajakan, 'bahkan jika pemerintah terlibat dalam persis sama kegiatan-dan dengan tingkat yang sama efisiensi-sebagai sektor swasta dengan pajak pendapatan sehingga mengangkat "8.
• Sebuah artikel dalam Journal of Moneter Ekonomi ditemukan: "[T] di sini adalah crowding out substansial pribadi belanja oleh pengeluaran pemerintah permanent perubahan pengeluaran pemerintah menimbulkan efek kekayaan negatif. "9
• Sebuah studi dari Federal Reserve Bank of Dallas juga mencatat: "[G] rowth di stunts pemerintah umum pertumbuhan ekonomi. Kenaikan pemerintah belanja atau pajak menyebabkan gigih penurunan tingkat pertumbuhan pekerjaan "10.
• Sebuah artikel dalam Journal Eropa Politik Ekonomi ditemukan: "Kami menemukan kecenderungan menuju lebih kuat efek pertumbuhan negatif sebesar besar pengeluaran publik "11.
• Sebuah penelitian di Public Finance Review melaporkan: "[H] total pengeluaran pemerintah lebih tinggi lagi, tidak ada peduli seberapa dibiayai, terkait dengan lebih rendah tingkat pertumbuhan riil per kapita negara bruto produk "12.
• Sebuah artikel dalam Journal Triwulan Ekonomi melaporkan: "[T] ia rasio konsumsi pemerintah nyata pengeluaran terhadap PDB riil sudah negatif asosiasi dengan pertumbuhan dan investasi, "dan" Pertumbuhan berbanding terbalik dengan dengan pangsa konsumsi pemerintah dalam PDB, namun tidak signifikan berhubungan dengan saham investasi publik "13.
• Sebuah studi di Review Ekonomi Eropa melaporkan: "memperkirakan dampak dari pemerintah [GEXP pengeluaran] variabel juga agak yang lebih besar, menyiratkan bahwa peningkatan rasio pengeluaran sebesar 10 persen dari PDB adalah terkait dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang 0,7-0,8 poin persentase lebih rendah "14.
• Sebuah penelitian melaporkan Pilihan Publik: "[A] n peningkatan di GTOT [total pengeluaran pemerintah] dengan 10 poin persentase akan menurunkan pertumbuhan
tingkat [total faktor produktivitas] TFP oleh 0,92 persen [per tahun]. Sebuah sepadan
peningkatan konsumsi pemerintah [GC] Belanja akan menurunkan laju pertumbuhan TFP oleh 1,4 persen [per tahun] "15.
• Sebuah artikel dalam Journal of Pembangunan Ekonomi tentang manfaat modal internasional arus menemukan bahwa konsumsi pemerintah keluaran ekonomi dikaitkan dengan lambat pertumbuhan, dengan koefisien berkisar antara 0,0602 untuk 0,0945 dalam empat regressions.16 yang berbeda
• Sebuah Jurnal Penelitian Makroekonomi ditemukan: "[T] ia koefisien persyaratan aditif dari pemerintah-ukuran variabel menunjukkan bahwa 1% peningkatan ukuran pemerintah menurun tingkat pertumbuhan ekonomi dengan 0,143% "17.
• Sebuah penelitian di Public Choice melaporkan: "[A] satu persen peningkatan pengeluaran pemerintah sebagai suatu persen PDB (dari, katakanlah, 30 sampai 31%) akan meningkatkan tingkat pengangguran sekitar .36 dari satu persen (dari, katakanlah, 8-8,36 persen) "18.
• Sebuah penelitian dari Jurnal Ekonomi Moneter menyatakan: "Kami juga menemukan efek negatif yang kuat pertumbuhan konsumsi pemerintah sebagai
fraksi dari PDB. Koefisien -0,32 adalah sangat signifikan dan, secara harfiah, itu berarti bahwa peningkatan satu standar deviasi di pemerintahan mengurangi pertumbuhan rata-rata pertumbuhan PDB dengan 0,39 poin persentase "19.
• Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengakui: "Pajak dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi pertumbuhan baik langsung maupun tidak langsung melalui investasi. Sebuah kenaikan sekitar satu titik persentase pajak tekanan-e.g. dua-pertiga dari apa yang diamati selama dekade terakhir dalam contoh-OECD dapat dikaitkan dengan reduksi langsung dari sekitar 0,3 persen pada output per kapita. Jika efek investasi diperhitungkan, secara keseluruhan pengurangan akan menjadi sekitar 0,6-0,7 persen "20.
• Sebuah Biro Nasional Riset Ekonomi kertas menyatakan: "Anggaran [A] 10 persen seimbang peningkatan pengeluaran pemerintah dan perpajakan diperkirakan akan mengurangi output pertumbuhan sebesar 1,4 persen per tahun, sejumlah besamya sebanding dengan hasil dari model teoritis satu sektor di King dan Robello "21.
• lain Biro Ekonomi Nasional kertas Penelitian menyatakan: "Penurunan oleh satu titik persentase dalam rasio primer pengeluaran atas PDB menyebabkan peningkatan investasi dengan 0,16 poin persentase PDB pada dampak, dan peningkatan kumulatif oleh 0,50 setelah dua tahun dan 0,80 persentase poin dari PDB setelah lima tahun. Efeknya adalah terutama kuat ketika belanja cut jatuh pada upah pemerintah: dalam tanggapan atas dipotong upah publik tagihan sebesar 1 persen dari PDB, angka di atas menjadi 0,51, 1,83 dan 2,77 persen masing-masing "22.
• Sebuah artikel IMF menegaskan: "pertumbuhan rata-rata untuk periode 5 tahun sebelumnya ... lebih tinggi pada negara dengan pemerintah kecil di kedua periode. Tingkat pengangguran, pangsa dari bayangan ekonomi, dan jumlah terdaftar paten menunjukkan bahwa kecil pemerintah menunjukkan lebih peraturan efisiensi dan kurang dari menghambat berpengaruh pada fungsi tenaga kerja pasar, partisipasi dalam ekonomi formal, dan inovasi sektor swasta "23.
• Melihat bukti AS dari 1929-1986, sebuah Artikel dalam Public Choice diperkirakan: "analisis ini memvalidasi paradigma sisi penawaran klasik dan menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas maksimum terjadi apabila pengeluaran pemerintah merupakan sekitar 20% dari PDB "24.
• Sebuah artikel di Ekonomi Inquiry melaporkan: "The ukuran pemerintah yang optimal adalah 23 persen (+ / -2 persen) untuk negara rata-rata. Jumlah ini, Namun, perbedaan masker penting di daerah: ukuran optimal diperkirakan berkisar dari 14 persen (+ / -4 persen) bagi negara rata-rata OECD untuk ... 16 persen (+ / -6 persen)
di Amerika Utara "25.
• Bank Federal Reserve Cleveland studi melaporkan: "simulasi A di mana pengeluaran pemerintah permanents meningkat dari 13,7 ke 22,1 persen dari GNP (seperti yang mereka lakukan selama empat dekade terakhir) menyebabkan jangka panjang penurunan output dari 2.1 persen. Nomor ini merupakan tolok ukur perkiraan efek terhadap output karena lebih tinggi secara permanen konsumsi pemerintah "26.



Daftar Pustaka

Daniel J. Mitchell, “Academic Evidence: A Growing Consensus Against Big Government,” supplement to Daniel J. Mitchell,
“The Impact of Government Spending on Economic Growth,” Heritage Foundation Backgrounder No. 1831, at www.
heritage.org/research/budget/bg1831_suppl.cfm. The supplement is available only on the Web.
John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), in The General Theory, Vol. 7 of Collected
Writings of John Maynard Keynes, ed. Donald Moggridge (London: Macmillan for the Royal Economic Society, 1973),
at cepa.newschool.edu/het/essays/keynes/gtcont.htm (February 2, 2005).
Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD in Figures, 2004 ed. (Paris: OECD Publications, 2004),
at www1.oecd.org/publications/e-book/0104071E.pdf (February 2, 2005). The EU–15 are the 15 member states of the European
Union prior to enlargement in 2004: Austria, Belgium, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Ireland, Italy,
Luxembourg, Netherlands, Portugal, Spain, Sweden, and the United Kingdom.
Fredrik Bergström and Robert Gidehag, “EU Versus USA,” Timbro, June 2004, at www.timbro.com/euvsusa/pdf/
EU_vs_USA_English.pdf (February 2, 2005).
European Commission, Directorate-General for Economic and Financial Affairs, “Public Finances in EMU, 2003,” European
Economy, No. 3, 2003, at europa.eu.int/comm/economy_finance/publications/european_economy/2003/ee303en.pdf (February
2, 2005).
Vito Tanzi and Howell H. Zee, “Fiscal Policy and Long-Run Growth,” International Monetary Fund Staff Papers, Vol. 44,
No. 2 (June 1997), p. 5.
Shaghil Ahmed, “Temporary and Permanent Government Spending in an Open Economy,” Journal of Monetary Economics,
Vol. 17, No. 2 (March 1986), pp. 197–224.
Dong Fu, Lori L. Taylor, and Mine K. Yücel, “Fiscal Policy and Growth,” Federal Reserve Bank of Dallas Working Paper
0301, January 2003, p. 10.
Stefan Fölster and Magnus Henrekson, “Growth and the Public Sector: A Critique of the Critics,” European Journal of Political
Economy, Vol. 15, No. 2 (June 1999), pp. 337–358.
S. M. Miller and F. S. Russek, “Fiscal Structures and Economic Growth at the State and Local Level,” Public Finance Review,
Vol. 25, No. 2 (March 1997).
Robert J. Barro, “Economic Growth in a Cross Section of Countries,” Quarterly Journal of Economics, Vol. 106, No. 2 (May,
1991), p. 407.
Stefan Fölster and Magnus Henrekson, “Growth Effects of Government Expenditure and Taxation in Rich Countries,”
European Economic Review, Vol. 45, No. 8 (August 2001), pp. 1501–1520.
P. Hansson and M. Henrekson, “A New Framework for Testing the Effect of Government Spending on Growth and Productivity,”
Public Choice, Vol. 81 (1994), pp. 381–401.
Jong-Wha Lee, “Capital Goods Imports and Long-Run Growth,” Journal of Development Economics, Vol. 48, No. 1 (October
1995), pp. 91–110.
 James S. Guseh, “Government Size and Economic Growth in Developing Countries: A Political-Economy Framework,”
Journal of Macroeconomics, Vol. 19, No. 1 (Winter 1997), pp. 175–192.