Minggu, 01 Mei 2011

DAMPAK PENGURANGAN/PENGHAPUSAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR


LAPORAN HASIL KAJIAN
DAMPAK PENGURANGAN/PENGHAPUSAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Dana Alokasi umum (DAU) merupakan salah satu komponen APBN yang di alokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk diberikan ke daerah melalui suatu perhitungan formula yang bertujuan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah dalam membiayai kebutuhan daerah untuk menunjang pelaksanaan desentralisasi serta meminimalisasikan ketimpangan fiskal antara daerah berdasarkan UU No. 33 tahun 2004. Dengan adanya kebijakan pemerintah pusat yang akan melaksanakan pengurangan dan penghapusan DAU untuk Provinsi Kaltim, maka sudah pasti akan menimbulkan dampak yang cukup membuat pemerintah daerah harus bekerja lebih keras untuk mencari solusi agar sektor-sektor pembangunan daerah tetap bisa berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Provinsi Kalimantan Timur, merupakan salah satu provinsi penyumbang devisa terbesar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Layaknya penyumbang devisa terbesar, maka Kaltim juga merupakan salah satu provinsi pengkonstribusi pendapatan terbesar bagi pemerintah pusat. Pendapatan pemerintah pusat dari Provinsi Kaltim ini, salah satunya digunakan sebagai sumber dana untuk pembangunan di provinsi lain, sebagai salah satu wujud political will pemerintah pusat dalam rangka pemerataan pembangunan. Salah satu dana yang digunakan untuk memeratakan pembangunan tersebut adalah Dana Alokasi Umum (DAU). DAU ini merupakan dana transfer dari Pemerintah Pusat yang penggunaannya diserahkan secara penuh kepada Pemerintah Daerah.
B.  Permasalahan
1.      Apakah penerapan formulasi perhitungan DAU berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 berdampak terhadap besaran pembiayaan pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur?
2.      Bagaimana strategi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur untuk menutupi berkurangnya DAU sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan di daerahnya?
C.  Maksud dan Tujuan Penelitian
1.      Dampak penerapan formulasi perhitungan DAU berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 terhadap besaran pembiayaan pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur.
2.      Strategi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur untuk menutupi berkurangnya DAU sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan di daerahnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Formula DAU menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, dapat ditunjukkan dalam persamaan-persamaan berikut ini:

DAU = AD + CF ............................................................................................................. (1)
CF = KbF – KpF   ........................................................................................................... (2)
KbF = TBR (α1IJP + α2ILW + α3IPM + α4IKK + α5IPDRB/k) ...................................... (3)
KpF = PAD + DBH P + DBH SDA ................................................................................ (4)
Dimana: DAU = Dana Alokasi Umum
IKK = Indeks Kema halan Konstruk-si
AD = Alokasi Dasar (Gaji PNSD)
IPDRB/k = Indek PDRB per kapita
CF = Celah Fiskal
α = Bobot Indeks
KbF = Kebutuhan Fiskal
PAD = Pendapatan Asli Daerah
KpF = Kapasitas Fiskal
DBH P = Dana Bagi Hasil dari
TBR = Total Belanja Rata-rata APBD
Penerimaan Pajak
IJP = Indeks Jumlah Penduduk
DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari
ILW = Indeks Luas Wilayah
Penerim

A.      Landasan Teoritis
1.      Kapasitas Fiskal (KpF) dan Kebutuhan Fiskal (KbF)
Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil (DBH Pajak dan DBH SDA). Definisi ini sudah benar karena merupakan cerminan sisi kanan (penerimaan) dari APBD. Namun sub komponen dalam kapasitas fiskal dapat diperdebatkan.
Kebutuhan Fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan pendanaan diukur dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Penulis kurang sependapat dengan definisi ini. Seharusnya, secara filosofis kebutuhan fiskal diukur dari sisi kiri APBD, yang merupakan sisi pengeluaran suatu daerah.
2.      Alokasi Dasar (AD)
Alokasi Dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (Pasal 27 Ayat 4 UU 33 Tahun 2004). Definisi ini sudah benar. Dengan demikian argumen sebagian kalangan yang menyebutkan bahwa formulasi DAU berdasarkan UU No 33 Tahun 2004, bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, menjadi lemah dan sumir.
Penempatan alokasi dasar sebagai komponen terakhir dari perhitungan besaran DAU, memiliki implikasi yang merugikan bagi daerah dengan Celah Fiskal yang negatif.
a.         Bagi daerah yang memiliki CF negatif (KbF < KpF), maka seluruh atau sebagian gaji PNSD tidak dibayar dari DAU, tetapi dari komponen lain dalam KpF. Pertanyaan penulis adalah, dimana tanggungjawab pemerintah pusat, jika Gaji PNSD seluruhnya dibayar pemerintah daerah? Padahal, tugas dan fungsi PNSD, juga menjalankan visi dan misi pemerintah pusat.
b.         Tidak ada apresiasi dari pemerintah pusat terhadap daerah yang memiliki KpF lebih tinggi dari KbF. Di sebagian negara lain (utamanya di Eropa dan USA), daerah/negara bagian yang memiliki KpF tinggi justru diberi apresiasi dalam bentuk insentif. Di Negara ini (dalam konteks UU No 33 Tahun 2004), daerah penyumbang devisa tertinggi(KpF tinggi) malah dikebiri, melalui pengurangan DAU, dengan argumen harus berbagi dengan daerah lain. Jika demikian adanya, negara ini set back ke masa-masa, dimana “sama rata sama rasa” menjadi doktrin utama. Lalu, kemana larinya prinsip keadilan dan saling menghargai antara pemerintah pusat dan daerah? Kemana larinya jargon “bersama kita bisa”, saat pemimpin negeri ini berkampanye menjelang pilpres beberapa tahun yang lalu?




B.     Kerangka Pikir Penelitian

BAB III
METODE PENELITIAN
A.      Pendekatan
Terdapat tiga jenis dalam penelitian sosial, yakni penelitian eksploratif (explorative research), penelitian diskriptif (descriptive research) dan penelitian eksplanatori (explanatory research). Berdasarkan jenis dari tipe tersebut maka Penelitian tentang dampak pemberlakukan formulasi perhitungan DAU berdasarkan UU No.33/2004 terhadap pembiayaan pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur, tergolong kedalam jenis penelitian deskriptif. Meskipun jenisnya adalah penelitian deskriptif, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dalam menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian.
B.       Teknik Pengumpulan Data
1.        Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dilakukan di Kantor Bappeda kabupaten/kota yang menjadi sampel penelitian, yaitu: Kantor Bappeda Kota Tarakan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur, Kota Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan.
2.        Wawancara mendalam (In Dept Interview)
Wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa responden, di antaranya Kepala Bappeda, dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Kabag Keuangan Setkot/Setkab di enam kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Timur.
C.      Alat Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dengan tidak menutup kemungkinan mempergunakan statistik deskriptif, untuk memperjelas analisis dan pemahaman. Statistik deskriptif yang digunakan di antaranya adalah frekuensi, prosentase, dan tabel silang.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil Pendataan
1.        Struktur APBD Provinsi Kalimantan Timur
Konstelasi hubungan keuangan pusat dan daerah yang berlaku sejak pemerintahan Orde Baru (OB) hingga diberlakukannya otonomi daerah (OD) Januari 2001 lalu menyebabkan relatif kecilnya peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan mendominasi konfigurasi APBD Provinsi Kalimantan Timur maupun APBD Kabupaten/Kota.
Diduga setidaknya ada tiga penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi pusat.
a.         Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, sehingga sumbangannya terhadap pendapatan daerah relatif masih kecil.
b.         Adalah tingginya derajat sentralisasi dalam perpajakan, semua pajak utama, yang paling produktif, baik pajak langsung maupun tak langsung, ditarik oleh pusat. Alasan sentralisasi perpajakan yang sering mengemuka adalah untuk mengurangi disparitas antar daerah, efisiensi administrasi, dan ksseragaman perpajakan.
c.         Adalah kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan. Pajak daerah yang ada saat ini berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis bila dilakukan pemungutan hanya terdiri dari 12 jenis pajak saja (Davey, 1989). Sekitar 90% pendapatan daerah Tingkat I hanya berasal dari dua sumber.
2.        Total DAU Provinsi Kalimantan Timur
Formula DAU dalam pengalaman Indonesia selama ini, terbagi menjadi dua komponen utama yaitu Alokasi Minimum (AM) dan Alokasi DAU berdasarkan Kesenjangan Fiskal (AKF). Komponen Alokasi Minimum terbagi menjadi dua bagian yaitu komponen lumpsum dan belanja pegawai, sedangkan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal harus mempertimbangkan tentang kebutuhan dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.
B.     Hasil Analisis Data dan Pembahasan
1.        Dampak Pengurangan DAU terhadap Pembiayaan Pembangunan
a.    Dampak langsung (internal)
1)        Dampak Penerimaan
Berkurangnya penerimaan DAU, akan mengakibatnya berkurangnya jumlah penerimaan total. Diperkirakan berkurangnya DAU akan mengurangi penerimaan antara 9% sampai 32% atau rata-rata penerimaan pada 7 daerah sampel akan berkurang sebesar 16,04%. Dengan analogi kriteria kemandirian keuangan oleh Halim yang dimodifikasi, maka tingkat ketergantungan DAU pada 7 daerah sampel tergolong rendah sekali (kurang dari 25%). Artinya jika pengurangan DAU akan ditutupi, maka diperlukan tambahan penerimaan sebesar 16,04% dari total penerimaan, Alternatif sumber penerimaan untuk menutupi pengurangan DAU adalah pengalihan PNBP menjadi penerimaan daerah,serta Bagi hasil dan PAD. Begitu juga sebaliknya.
a)        Skenario Kenaikan PAD
-        Skenario 1. dana substitusi pengurangan DAU . PAD naik 75%
-        Skenario 2. dana substitusi pengurangan DAU . PAD naik 50%
-        Skenario 3. dana substitusi pengurangan DAU . PAD naik 25%
b)        Pengalihan PNBP menjadi Penerimaan Daerah Terdapat banyak jenis pungutan PNBP (di antaranya pungutan eks Kanwil departemen) Permasalahan utama opsi ini adalah tidak adanya payung hukum yang cukup kuat untuk mengalihkan PNBP menjadi penerimaan daerah. Penarikan PNBP sementara ini masih mengacu kepada SK Gubernur. Konsekuensinya PNBP harus di setor ke kas daerah sebagai kas antara, untuk selanjutnya di setor ke kas negara. Beberapa jenis pungutan PNBP yang ke luar negeri dan perpanjangan ijin tenaga kerja asing. Potesial dijadikan sebagai penerimaan daerah di antaranya ijin TKI.

2)        Dampak Pengeluaran
Berkurangnya DAU mengakibatkan berkurangnya penerimaan total, jika tidak ada sumber-sumber lain yang menggantikan, maka total pengeluaran juga akan berkurang dengan asumsi sistem APBD adalah seimbang. Oleh sebab itu dampak pengurangan DAU adalah berkurangnya pos-pos belanja daerah seperti belanja pegawai dan belanja modal atau pengeluaran rutin dan pembangunan. Pos belanja yang kurang penting dikurangi, sehingga dampaknya kecil atau kurang terasa.
a)        Skenario Efisiensi Belanja Rutin/pegawai
Pilih pos-pos yang kurang penting dan kurang efisien. Artinya pos tidak dihilangkan tetapi ditingkatkan efisiensinya, sehingga aktivitasnya tidak berkurang secara signifikan. Pengeluaran pegawai selamai ini terkesan masih kurang efisien, sehingga kalau dikurangi dananya tetap bisa berjalan/beraktivitas. Intinya adalah belajar berhemat. Jadi pengurangan DAU pada hakikatnya dapat saja berarti ajakan untuk berhemat atau meningkatkan efisiensi. Pos-pos yang perlu ditingkatkan efisiensinya di antaranya adalah biaya perjalan dinas.
b)       Skenario Efisiensi Belanja Modal/pembangunan
Belanja modal merupakan pengeluaran untuk investasi pemerintah dalam rangka meningkatkan sarana dan prasaranan sosial ekonomi. Pada pos pengeluaran pembangunan juga masih terdapat indikasi pengeluaran-pengeluaran yang kurang efisien dan efektif. Oleh sebab itu pengeluaran diarahkan pada investasi yang memiliki dampak penyebaran dan keterkaitan yang luas dan menyentuh langsung pada kepentingan masyarakat perlu mendapat prioritas. Dengan demikian pos-pos yang perlu ditingkatkan efisiensinya adalah: Biaya perbaikan gedung, Biaya-biaya pemeliharaan, dan Biaya bantuan sosial.
b.        Dampak Tidak Langsung (Eksternal)
1)        Dampak Sektoral
Secara sektoral pengurangan DAU akan berdampak terhadap pertumbuhan sektor-sektor yang terkait langsung, dalam hal ini adalah sektor Jasa-jasa yang meliputi jasa pemerintah dan swasta. Berdasarkan hasil analisis data sekunder, nilai elastisitas DAU terhadap pertumbuhan sektora Jasa secara keseluruhan rata-rata sebesar 0,285 atau jasa pemerintah sebesar 0,35 dan jasa swasta sebesar 0,22.


a)      Skenario substitusi
Skenario substitusi artinya mempertahankan pengeluaran seperti semula, artinya pengurangan pengeluaran akibat berkurangnya DAU selayaknya diganti atau ditutupi dengan pengeluaran yang senilai.
b)     Skenario efisiensi atau Elastisitas
Skenario efisiensi atau memperkecil nilai COR. Artinya dengan jumlah pengeluaran investasi yang sama akan diperoleh nilai pertumbuhan yang lebih besar. Atau dengan pengurangan investasi akan diperoleh pertumbuhan yang relatif sama. Dengan kata lain meningkatkan elastisitas DAU terhadap pertumbuhan sektor. Jika kenikan DAU 1% akan meningkatkan pertumbuhan sektor jasa 0,285%, maka diupayakan kenaikan DAU 1% akan meningkatkan pertumbuhan sektor jasa lebih dari 0,285%.
2)        Dampak Pelayanan Publik
Nilai pelayanan publik dapat diukur dari seberapa besar rata-rata pengeluaran pemerintah untuk penduduknya. Berdasarkan hasil analisis data sekunder, maka rata-rata pelayanan publik untuk daerah sampel 1,7 s/d 6,62 Milyar/penduduk , sedangkan pelayanan publik dari dana DAU rata-rata 0,63 s/d 1,35 Milyar/penduduk.
-        Substitusi dan efisiensi. Skenario substitusi dan efisiensi pada prinsipnya adalah mempertahankan output dengan input yang tidak berubah (mengganti pengerungan dana) atau mempertahan ouput dengan input yang relatif berkurang melalui peningkatan efisiensi
-        Pelayanan. Skenario pelayanan dimaksudkan untuk mempertahan pelayanan kepada masyarakat dengan meningkatkan sikap atau apresiasi aparatur terhadap pelayanan. Artinya berkuranya fasilitas akan ditutupi dengan sikap arif, bijaksana, profesional, sehingga pelayanan terhadap masyarakat dapat dipertahankan.
2.        Implikasi Hasil Penelitian
a.    Dalam upaya menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pemda hendaknya tidak mengabaikan kesejahteraan masyarakat dan iklim usaha dan perlu juga mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap stabilitas daerah.
b.    Pada dasarnya terdapat dua kategori utama sumberdaya keuangan daerah, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan. Sebagian besar Pemda masih sangat bergantung pada Dana Perimbangan. Oleh sebab itu Pemda dituntut untuk mulai membenahi PAD-nya.
c.    Sebagai komponen pendapatan daerah, PAD umumnya terdiri dari pajak dan retribusi daerah, laba BUMD, dan PAD yang sah lainnya. Di antara komponen-komponen ini, pajak memiliki kontribusi terbesar bagi PAD. Terlepas dari kenyataan tersebut, penguatan pajak daerah yang masih relatif rendah perlu mendapatkan perhatian Pemda.
d.   Mengenai Dana Perimbangan, terdapat hubungan antara anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk mencapai perimbangan keuangan yang lebih baik antara Pusat dan Daerah, jumlah dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Daerah sebaiknya mencerminkan tanggungjawab pengeluaran Pemda, berdasarkan fungsi yang didesentralisasikan.
e.    Pemda sebaiknya mempertimbangkan pilihan terhadap pajak: apakah suatu pajak tergolong potensi atau tidak, hal ini dapat dilihat dari elastisitas pajak yang diukur sebagai perubahan pendapatan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Pajak yang potensial jika angka elastisitasnya lebih dari satu, dan sebaliknya pajak yang tidak potensial tidak akan menaikkan pendapatan daerah secara signifikan. Sebaliknya lagi, pajak potensial dapat menaikkan pendapatan daerah secara signifikan tanpa menyebabkan distorsi perekonomian daerah.